Selasa, 04 Mei 2010

UU Perlindungan Anak dan Fenomena Pendidik dalam Proses Pendidikan

Oleh : Sarbaitinil

Introduction
Pepatah guru seharusnya digugu dan ditiru nyaris kehilangan makna. Sederet peristiwa kekerasan yang dilakukan seorang guru terhadap murid dengan cara dipukul, ditampar, atau ditendang telah menjadi cerita sehari-hari di banyak sekolah di negeri ini yang dapat kita saksikan di tayangan audio visual belakangan ini. Peristiwa tersebut hanyalah puncak gunung es dari ratusan kejadian serupa yang dilakukan seorang guru terhadap anak di sekolah. Masih banyak kekerasan guru yang tak terungkap, karena orang tua tidak melaporkan kepada polisi, atau murid yang diperlakukan semena-mena itu memilih bungkam.
“Kurangnya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 di lingkungan sekolah dan minimnya pembinaan guru sejak awal penempatan ditengarai sebagai faktor pemicu kekerasan terhadap anak di sekolah”. Pendapat tersebut disampaikan pengamat permasalahan anak Giwo Rubianto Wiyogo, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, dan pakar pendidikan Arief Rachman, menanggapi maraknya tindak kekerasan yang dilakukan guru kepada siswanya (peringatan hari PGRI di Jakarta, 25 Desember 2008). Selanjutnya juga dikatakan bahwa banyak guru tidak memahami ketentuan dan sangsi yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Peristiwa itu akan menjadi pelajaran bagi PGRI untuk semakin memperkuat sosialisasi UU PA termasuk perlindungan guru kepada guru-guru dan komponen-komponen yang ada di sekolah yang biasa disebut satuan pendidikan.
Disamping itu, ini juga merupakan tugas dari Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Dinas Pendidikan yang ada di seluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia. Dinas Pendidikan ini jangan hanya menjadikan guru sebagai bagian dari aparat birokrasi. Pembinaan utama yang dilakukan tidak hanya sekedar pembinaan kompetensi profesionalisme dan metode pembelajaran melalui kebijakan sertifikasi guru.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana Undang-Undang Perlindungan Anak dapat membuat pendidik menyadari bahwa peserta didik bukanlah objek yang dapat diperlakukan semena-mena. Disatu sisi, gurupun menginginkan adanya Perlindungan terhadap Guru, yang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No 14/2005 pasal 39. Namun dalam proses pembelajaran masih banyak kasus-kasus yang sangat kontradiktif dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan Harkat Martabat Manusia dan Tujuan Pendidikan Nasional (UU Pendidikan No 20. Tahun 2007), yaitu :
”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Selanjutnya yang menjadi jantung permasalahan pendidikan kita adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Silberman dalam Willian F. O’neil (2008:8) bahwa:
Pada dasarnya , para guru, kepala sekolah dan para pemilik sekolah adalah orang-orang yang baik, cerdas dan peduli, yang mencoba untuk melakukan sebaik mungkin sebisa-bisanya. Andai mereka merusakkan pekerjaan mereka itu, dan sebagia besar dari mereka memang melakukannya, itu karena tidak pernah terpikir oleh mereka, kecuali segelintir saja untuk bertanya mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan itu, Untuk mempertanyakan secara serius dan sungguh-sungguh tentang tujuan atau konsekuensi pendidikan.

Undang-Undang Perlindungan Anak dan Fenomena Pendidik

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua juga wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan dimaksud adalah sesuai dengan Pasal 48 diarahkan pada :

1.Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
2.Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
3.Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
4.Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
5.Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Dalam menjadikan guru sebagai tenaga pendidik yang profesional di bidangnya, kompetensi sosial, psikologi dan kepribadian sangatlah dibutuhkan agar guru semakin dewasa, kreatif, dan bijaksana, dan dapat berkomunikasi dengan peserta didik dengan tidak mengutamakan/mengemukakan emosi. Artinya seorang pendidik harus berjiwa pendidik yang tidak hanya mengajar, sehingga ketika berbicara denga peserta didik dengan menggunakan hati nurani. juga melihat perlunya pemerintah meninjau kembali pola rekrutmen guru. Bila perlu, lakukan wawancara khusus agar kelihatan kondisi jiwa dan kepribadiannya.
Guru harus mendidik siswa nakal tanpa harus melakukan kekerasan fisik, seperti: menampar, mencubit apalagi sampai menendang. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang pembinaan internal dan rekrutmen guru, tidak sebatas memberi gaji tinggi, apalagi sekarang melalui sertifikasi guru, mereka mendapatkan gaji/penghasilan tambahan berdasarkan gaji pokok yang tertera di amprah gaji, dan berbagai tunjangan lainnya.
Adanya Undang-Undang Perlindungan Anak membuat guru merasa tidak bisa berbuat banyak. Undang-undang ini tidak memberikan ruang yang luas bagi guru dalam memberikan tindakan lebih tegas. Undang-undang ini melarang perlakuan fisik terhadap anak. Oleh karenanya, banyak guru dapat terjerat oleh undang-undang ini. Guru yang mencubit atau menjewer, bahkan menampar apalagi hukuman fisik lainnya dalam proses pembelajaran disekolah, dengan undang-undang ini, bisa kena sanksi sehingga mereka dihantui ketakutan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, diatur sejumlah tindakan yang masuk kategori pidana anak. Setidaknya, ada 14 pasal yang mengatur soal jenis tindakan yang masuk kategori tindak pidana. Pada Pasal 80 disebutkan “setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan atau denda paling banyak 72 juta rupiah”.
Dalam kenyataannya, selama ini banyak guru terkena pasal pidana hanya gara-gara masalah yang dianggapnya sepele seperti mencubit atau menjewer siswa. Tindakan ini bisa dikategorikan pelanggaran undang-undang dan hasilnya ancaman hukuman kurungan maksimal lima tahun atau denda maksimal seratus juta.
Dengan adanya pasal-pasal ini, guru seperti terpenjara untuk melakukan metode mengajar yang dinilai cocok. Seharusnya guru tetap diperbolehkan memberikan hukuman dalam batas kewajaran dan hukuman tersebut dilakukan dengan kasih sayang dengan tindakan tegas yang mendidik. Jika anak bandel terus dibiarkan, hal ini akan menular pada yang lain sehingga wibawa guru turun. Kalau terus dibiarkan kredibilitas sekolahpun akan turun,/rendah dimata masyarakat
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran akan berjalan dengan baik, apabila guru tersebut tidak menyalahgunakan kekuasaan dengan adanya kekuatan perlindungan undang-undang. Hal ini lantaran sering kali guru mengalami banyak masalah berhubungan dengan kekuasaan di atasnya, seperti kepala sekolah, yayasan, kepala dinas, bupati, serta wali kota. “Guru sering tidak mendapatkan perlakuan yang wajar dari pengambil kebijakan/keputusan. Contoh, dipotong gajinya dan dimutasi merupakan bentuk kesewenang-wenangan terhadap guru. Dalam pilkada sering kali guru yang tidak memberikan dukungan kepada mereka yang terpilih, akhirnya dipindahkan ke tempat-tempat yang kurang strategis. Sedangkan guru-guru yang memberikan dukungan akan mendapatkan posisi yang strategis dan jabatan structural yang tertinggi di sekolah yaitu kepala sekolah, bahkan tanpa melalui evaluasi/tes kelayakan kepala sekolah.
Namun, kita harus menyadari dan menolak keras apabila masih diberlakukannya kekerasan dalam kegiatan belajar-mengajar Kekerasan, bagaimanapun harus dijauhkan dari dunia pendidikan kita, karena akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa si anak. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Kaldun (dalam Muhammad Said Mursi, 2001:477) bahwa:
Anak yang menerima perlakuan kasar dari guru, raja, atau pembantu, akan jadi kasar, jiwanya sempit, dan semangatnya hilang. Perlakuan kasar itu menjadikan anak malas, pembohong, bicara tidak berguna (menampakkan sesuatu yang tidak ada dalam pikirannya), karena takut mendapatkan perlakuan kasar; mengajarkan padanya untuk membuat tipu daya dan rekayasa…..Akhirnya ia akan kembali ke tempat yang paling rendah (asfal safilin)”.

Prayitno (2003:79-80) menyatakan bahwa:
Dalam menyelenggarakan kegiatan kependidikan dan pembelajaran sehari-hari dengan “Lima Panglima” orientasi dan perangkat instrumental pendidikan tenaga pendidikan mengunakan alat-alat pendidikan yang secara khusus digunakan dalam praktek pendidikan, yaitu kewibawaan, kasih sayang dan kembutan, keteladanan, pemberian penguatan, dan ketegasan yang mendidik. Kelima alat ini digunakan oleh tenaga kependidikan dalam hubungan pendidikan antara pendidik dengan peserta didik yang diciptakan untuk kepentingan peserta didik.

Selanjutnya ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam proses pembelajaran di sekolah, baik yang datangnya dari peserta didik maupun dari pendidik itu sendiri. namun pendidik seringkali menyikapinya dengan tidak menyadari posisinya sebagai pendidik yang harus memperhatikan aspek psikologi dan perkembangan mental/jiwa peserta didik.
Adapun kesalahan-kesalahan (dipandang dari aspek guru) tersebut adalah antara lain :
1.Memaksa peserta didik melakukan sesuatu sebelum ia yakin akan pentingnya melakukan hal itu.
2. Menetapkan strategi yang statis dalam memperlakukan peserta didik, dan tidak mau mengubah strategi itu meskipun peserta didik telah mengubah perilakunya.
3.Tidak menyikapi kesalahan peserta didik dengan lapang dada.
4.Tidak ada kemauan para pendidik untuk memahami factor-faktor yang menyebabkan peserta didik melakukan kesalahan.
5.Menghukum peserta didik meskipun telah mengubah perilakunya menjadi baik, dengan dasar “sekali lancung di ujian, selama hidup orang tak percaya”.
6.Tidak ada sugesti yang baik yang ditujukan kepada peserta didik.
7.Membandingkan peserta didik dengan peserta didik lain yang lebih baik.
8.Tidak adanya konsistensi dalam memaknai sebuah nilai atau dalam sikap pendidikan.
9.Tidak memberi peserta didik kasih sayang dan cinta dengan tulus ikhlas.
10.Tidak memperhatikan batas-batas hukuman fisik yang diberikan kepada peserta didik.
11.Tidak memperhatikan aspek perbedaan kepribadian antara satu peserta didik dengan lainnya dalam memperlakukan peserta didik.
12.Tidak melakukan konsep bertahap (gradual) dalam memperlakukan peserta didik
13.Menghinakan dan merendahkan peserta didik, serta melakukan diskriminasi dalam pendidikan. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 yaitu :
Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;

14.Tidak menyertakan peserta didik dalam meletakkan dasar-dasar perilaku.
15.Mengikuti aliran dan cara yang salah dalam memperlakukan peserta didik.

Namun kesalahan-kesalahan dalam pendidikan banyak dan sering dialamatkan kepada peserta didik, meskipun pendidik tidak luput berbuat keliru. Menurut Prayitno (2002:149) kesalahan-kesalahan tersebut ada yang berada di wilayah hukum formal yang baik bersifat pidana, perdata, maupun delik aduan, dan lebih banyak lagi di luar wilayah hukum positif”. Selanjutnya juga dikemukakan beberapa contoh yang berkaitan dengan tindak pidana (pencurian, pemerasan, pembunuhan, pengguguran kandungan, pengedaran narkotika, Pengrusakan, korupsi.
Pelanggaran seperti dicontohkan di atas tidak mustahil dilakukan oleh peserta didik, namun semua pelanggaran itu harus diperlakukan sesuai dengan status hukumnya masing-masing. Seorang Pendidik tidak boleh menghukun peserta didik yang berada di luar lingkup tanggung jawabnya. Adapun pelanggaran yang bersifat formal yang dilakukan oleh peserta didik dapat berupa:
1.Pelanggaran dalam pakaian seragam
2.Kehadiran di sekolah
3.Disiplin dan tata krama
4.Pembayaran SPP dan iuran lainnya
5.Pelanggaran dalam mengikuti pelajaran
6.Mengerjakan pekerjaan rumah
7.Mengerjakan ulangan dan ujian
8.Sikap terhadap guru, sesama teman,
9.Pergaulan muda-mudi dan sebagainya.
Sejak Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) disahkan, makin banyak guru diadukan oleh masyarakat. Tak jarang, guru diciduk pihak berwajib. Atau didatangi oleh orang tua murid. Mereka marah-marah karena anaknya disetrap atau dihukum di dalam kelas. Perlindungan guru sebenarnya telah diatur secara jelas dalam Undang-undang (UU) No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 39 UU tersebut yang menyatakan bahwa, “pemerintah, pemerintah daerah (pemda), organisasi profesi dan masyarakat harus memberikan perlindungan profesi terhadap guru. "Tetapi, secara implementasi, peraturan ini belum berjalan karena kurangnya sosialisasi dan informasi, sehingga pendidik tidak mengetahui isi dan kandungan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut, bahkan yang paling menyulitkan untuk posisi guru/pendidik adalah ia sendiripun tidak mau tau bahkan tidak mau mencari tau dan membaca Undang-Undang yang berkaitan dengan profesinya sebagai Pendidik.
Apalagi dengan lahirnya UU Perlindungan Anak yang melarang kekerasan guru terhadap anak didik, makin memacu laporan kekerasan yang dilakukan oleh guru. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru memiliki otoritas akademik di dalam kelas, karena kekerasan itu belum tentu karena kesalahan guru. Guru juga belum tentu menghukum, tetapi menegakan disiplin. Dalam hal ini perlu dibedakan status di dalam lingkungan sekolah: sebagai anak atau peserta didik. kalau di sekolah berarti dia sebagai peserta didik yang harus tunduk kepada gurunya. Tidak ada guru yang secara sengaja mau melakukan kekerasan. Kalaupun hal itu dilakukan, seharusnya ditindak lewat Dewan Kehormatan Guru karena telah menyalahi etika dan kode etik guru yang merupakan pedoman sikap dan perilaku serta nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan di luar sekolah.
Meskipun demikian apabila guru melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, Undang-Undang Guru dan Dosen, Kode Etik Guru Indonesia, haruslah terlebih dahulu diproses melalui Dewan Kehormatan Guru yang ada di sekolah yang bersangkutan. Karena Dewan Kehormatan Guru juga dibentuk oleh asosiasi profesi yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
Conclusion
Berdasarkan kenyataan dan pembahasan tentang Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 dan fenomena pendidik dalam proses pembelajaran peserta didik di sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 ini belum tersosialisasikan kepada masyarakat terutama kepada pendidik yang merupakan orang yang bersentuhan lansung dan kebanyakan waktunya bersama peserta didik.
Para orangtua seharusnya tidak menyalah artikan dan menyalahgunakan Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi suatu sarana yang membenturkan orangtua siswa dengan guru sehingga membuat para guru bingung dan sulit mengajar siswa untuk bersikap dan berperilaku yang baik serta membuat siswa tersebut menjadi pintar. Guru-guru akan serba salah untuk mendidik siswanya. Sebab bila menghukum siswa yang salah dan malas khawatir akan berakhir di polisi.
Dalam hal ini diharapkan kepada Dinas Pendidikan dan instansi terkait untuk sesegera mungkin dapat mensosialisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 ini ke sekolah-sekolah, orang tua siswa dan masyarakat yang merupakan pendukung dan pelaksana undang-undang itu sendiri, agar permasalahan yang merupakan benturan antara guru, siswa, orang tua siswa dan masyarakat dapat diminimalisir. Hal ini patut dicermati, karena bila ini tidak segera disosialisasikan dikhawatirkan akan membawa dampak besar bagi mutu pendidikan dan tumbuh kembang peserta didik.
Selanjutnya kepada tenaga kependidikan dalam hal ini guru jangan hanya berpangku tangan menunggu program-program, kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang sifatnya hanya menguntungkan kepada perbaikan gaji, tapi juga harus memperhatikan dan mencari tau tentang sesuatu yang akan membangun mental spiritual, kepribadian untuk meningkatkan keprofesionalan guru yang berdasarkan kepada iman dan taqwa dengan menjadikan peserta didik sebagai “subjek bukan objek pendidikan”.
Wassalam…….

References
Chan, Sam M. 2007. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Radja Grafindo Persada: Jakarta.
Drost. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik. Kanisius: Jogjakarta.
http://hariansib.com/2008/03/07/pgri
http://www.jurnalnasional.com/?media=KR&cari=perlindungan
Kode Etik Guru Indonesia
Koran Tempo, 19 November 2008
Muhammad Said Mursi, Syaikh. 2004. Seni Mendidik Anak. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.
Mulyasa H. E. 2008. Implementasi KTSP: Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Bumi Aksara: Jakarta
Prayitno. 2002. Hubungan Pendidikan (Materi Pelatihan Guru Pembimbing. Depdiknas
_______. 2003. Pendidikan dan Peran Pendidikan Tenaga Kependidikan (dalam Isjoni: Falsafahdan Sistem Kependidikan). Unri Press:Pekan Baru Riau.
_______. 2008. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Panitia Sertifikasi Guru. Rayon Universitas Negeri Padang.
Syafaruddin. 2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005
William F. O’neil. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Jogjakarta

2 komentar:

  1. Artikel ini sangat membantu, namun tolong cantumkan sumber bu...
    Salam saya; Rahayu (mahasiswa sosiologi unj)

    BalasHapus
  2. izin copy paste pak sarbaitinil

    BalasHapus