Rabu, 05 Mei 2010

UN dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan

By Sarbaitinil


Upaya peningkatan mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Penetapan delapan standar nasional pendidikan yakni: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan (PP. No. 19 Tahun 2005) adalah bukti konkrit kemauan kuat pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Upaya meningkatkan mutu pendidikan meliputi aspek input, proses, dan output pendidikan. Hakekat standar nasional pendidikan itu adalah arah dan sekaligus tujuan penyelenggaraan pendidikan bahkan menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Salah satu standar yang dinilai paling langsung berkaitan dengan mutu kriteria menetapkan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan adalah standar penilaian. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 telah mengatur standar penilaian pendidikan di sekolah baik SD, SMP, SMA, dan yang sederajat. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik. Kegiatan ujian sekolah /madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.
Dalam memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran, guru melakukan kegiatan sebagai berikut: (1) menginformasikan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester,(2) mengembangkan indikator pencapaian KD (kompetensi dasar) dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran, (3) mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih,(4) melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan, (5) mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik, (6) mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik, (7) memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran, (8) melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh, dan (9) melaporkan hasil penilaian akhlak kepada Guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada Guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.
Prosedur penilaian yang dilakukan setiap satuan pendidikan atau sekolah meliputi: (1) Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan,dan pemerintah, (2) Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), (3) Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan, (4) Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan, (5) Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik, (6) Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah, (7) Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian, (8) Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan, (9) Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan, (10) Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan, (11) Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pembina kegiatan dan kepala sekolah/madrasah, (12) Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedi, (13) Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar, (14) Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN, (15) UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama dengan instansi terkait, (16) Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, (17) Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan sertapembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Pada prinsipnya, pendidikan berorientasi pada penguasaan keilmuan dan implementasinya terukur pada kepribadian yang baik, kokoh dan bertanggung jawab. Konteks tersebut mengacu koridor Kemanusiaan yang adil dan beradab. Belakangan terasa kian luntur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Padahal akar budaya yang sudah mapan semestinya diberi penguatan (reinforcement) bukan mengganti dan mengubah dengan tatanan budaya baru yang belum tentu ccocok. Konteks kehidupan sekarang mengarah kepada prinsip individualis yang bermuara kepada neoliberalis. Tidak terasa akar budaya pribumi mulai tercabut dari tanah air.
Situasi dan kondisi tersebut dapat membuat syndrome paranoid orang-orang yang masih concern mempertahankan akar budaya pribumi. Bukan berarti harus mendewakan konsep Pancasila. Tidak pula menganggap Pancasila sebagai Kitab Suci. Tetapi tidak ada salahnya kita tetap berpijak pada bumi pertiwi secara totallity. Jangan sampai kaki berpijak di bumi Indonesia badan melayang di Hollywood dan kepala bertengger di Paris. Ini kan lelucon yang sama sekali tidak lucu.
Problem utama terletak pada apakah semua perundangan, ketentuan dan peraturan di bawah UUD 1945 yang sekarang diusulkan diamandemen lagi, sudah sinergi, sejalan dan tidak bertentangan dengan Pancasila? Karena lebih mengutamakan konsep kebebasan individu yang jelas tidak sesuai dengan prinsip Pancasila. Contoh kongkrit terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh petinggi negara dengan terbitnya PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Pada hakekatnya ternyata bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Fenomena tersebut sebenarnya berpijak pada prinsip neoliberalisme, yang lebih mementingkan penguatan individu, kelompok dan pemilik kekuasaan. Kontrol sosial kurang diperhatikan, bahkan sama sekali terabaikan. Kalau hal itu yang terjadi dan terus berkembang, bukan tidak mungkin masa depan bangsa dan negara dipertaruhkan demi eksistensi para penguasa, yang sudah mempunyai jaringan kuat secara politik, ekonomi, modal dan pendidikan. Tidak peduli terhadap pecundang, yakni rakyat yang kalah dalam politik, miskin, lemah dan bodoh. Seleksi alam tidak dapat berjalan secara alamiah, tetapi lebih dominan ke prinsip hukum rimba.
Sinergi dengan fenomena tersebut, pada masalah Ujian Nasional (UN) 2010 yang mensyaratkan berbagai aturan seperti yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, yang diberlakukan pada Ujian Nasional 2010 makin menambah beban para pecundang. Pada prinsipnya aturan yang diberlakukan dalam Ujian Nasional 2010 hanya cocok untuk peserta didik yang sudah mapan, kuat secara finansial, intelektual, dekat kepada multimedia dan berada di perkotaan. Mereka yang lemah secara ekonomi, kurang pandai, jauh dari alat komunikasi dan berada di pelosok dan terpencil, sudah barang tentu sangat berat kalau harus berhasil dalam Ujian Nasional 2010
Ujian Nasional hanya menguji aspek kognitif sesaat. Peserta didik yang mempunyai kemampuan intelegensi kurang pasti kalah dengan peserta didik dengan intelegensi baik. Apakah sistem seleksi seperti ini sejalan dengan prinsip seleksi alam? Atau bahkan bila dibandingkan dengan sistem seleksi multiple intelligence? Apa urgensinya Pemerintah mengeluarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) yang disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006). Padahal dalam Kurikulum tersebut digariskan secara eksplisit bahwa evaluasi pendidikan dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek. Minimum tiga ranah utama Taksonomi Bloom yakni ranah afektif, ranah kognitif dan ranah psikomotorik.
Selama ini hanya ujian akhir sekolah saja yang telah melaksanakan evaluasi pendidikan mencakup tiga ranah Taksonomi Bloom. Terlepas dari kualitas soal ujian yang kurang baik, bahwa hasil ujian akhir sekolah cenderung berhasil meluluskan hampir 100 persen peserta didik. Dalam hal ini lebih tepat sasaran bila para guru yang berkompeten membuat soal ujian dapat melaksanakan analisis soal ujian lebih detail. Apakah soal ujian sudah memenuhi kriteria minimum validitas, reliabilitas, daya pembeda dan penyebaran materi secara proporsional. Pemerintah harus mendukung dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi semua guru secara berkesinambungan.
Tanpa itikad baik dari Pemerintah untuk mengembangkan kompetensi guru secara merata, kualitas pendidikan pasti akan selalu timpang. Berbagai peraturan perundangan yang telah terbit dan berjalan seperti telah dibentuk dan dikeluarkan Standar Nasional Pendidikan Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) disebutkan bahwa ”Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Standar inilah harus dicapai dalam pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pendidikan. Adalah menjadi kewajiban pemerintah (pusat dan daerah) untuk memenuhi standar tersebut. Kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan di tanah air harus mengarah kepada tercapainya standar minimal tersebut. Akan lebih bagus jika ada pembagian tugas yang jelas tentang usaha pencapaian standar nasional tersebut. Sebagai misal, usaha pencapaian standar minimal sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, sedang usaha penyelenggaraan pendidikan melebihi standar minimal menjadi kewajiban masyarakat, karena kita sama sekali tidak dilarang untuk mengusahakan urusan pendidikan melebihi dari standar minimal tersebut. Usaha penyelenggaraan pendidikan yang melebihi standar diusahakan oleh masyarakat, termasuk Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI), dengan mengikuti model-model lembaga pendidikan yang telah dibangun oleh pemerintah (pusat dan daerah), seperti Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sebagaimana diamanatkan dalam PP tersebut.
Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tersebut adalah:
1.Standar isi;
2.Standar proses;
3.Standar kompetensi lulusan;
4.Standar pendidi dan tenaga kependidikan;
5.Standar sarana dan prasarana;
6.Standar pengelolaan;
7.Standar pembiayaan; dan
8.Standar penilaian pendidikan.
Kedelapan standar nasional pendidikan tersebut bahkan kini telah diterbitkan Permendiknasnya, misalnya Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, dan permendiknas yang lain, tetapi tidak berdaya apa-apa tanpa implementasi nyata. Bagaikan mainan yang dibuat dari kertas tanpa diberi mesin/penggerak atau digerakkan oleh manusia, semua peraturan hanya merupakan wacana belaka kalau tidak ditindaklanjuti dengan amal yang nyata. Siapapun tidak akan patuh kepada peraturan yang hanya tertulis di kertas, tidak pernah ada pelaksanaan nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sudah saatnya Pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek. Bukan semata-mata dipukul rata peserta didik SMP dan SMA sederajat harus mengakhiri proses studinya dengan Ujian Nasional. Tidak peduli apakah siap atau tidak, layak atau tidak, sesuai atau tidak dengan kondisi ideal yang dipersyaratkan dalam keberhasilan Ujian Nasional. Sehingga Ujian Akhir semua jenjang pendidikan tidak harus ditandai dengan penyelenggaraan Ujian Nasional yang memakan dana besar.
Pemberlakuan Ujian Nasional bagi semua peserta didik SMP dan SMA sederajat, pada prinsipnya hanya sekedar legalitas mengejar kualitas secara instan. Prinsip tersebut justru berbuah simalakama. Sekolah dan madrasah yang merasa berkualitas rendah dan pinggiran tentu tidak akan tinggal diam. Meskipun berbagai instrumen disempurnakan, mulai pengawasan, tim independen, soal ganjil dan genap yang berbeda. Kalau misalnya setiap ruang ujian yang berisi 20 peserta disajikan pula 20 macam soal ujian berbeda sekalipun, kualitas pendidikan tidak serta merta merangkak naik.
Pengawas Ujian Nasional adalah guru, masih manusia yang punya hati dan perasaan. Kalau perlu dipasang kamera pengintai yang sangat akurat dengan ketajaman rekaman sangat presisi. Korektor menggunakan komputer buatan manusia yang diprogram oleh manusia pula. Celah-celah kemungkinan terjadinya kecurangan pasti akan dicari untuk dimanfaatkan oleh siapapun komponen yang terkait demi eksistensi lembaga pendidikan sebagai tempat tambatan mencari nafkah. Diperparah situasi dan kondisi yang makin tak menentu seperti sekarang. Fenomena di lapangan menunjukkan terjadinya ketimpangan-ketimpangan seperti guru membantu siswa dalam memecahkan soal-soal UN demi menjaga kredibilitas sekolah dengan jalan memberikan kunci jawaban. Permasalahan lain adalah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan oleh satuan pendidikan hanya untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Disisi lain kriteria ini mengenyampingkan/mengabaikan nilai-nilai moral (kesusilaan) yang merupakan salah satu kunci kandungan dimensi kemanusiaan. Sebab standar penilaian ini dibuat oleh sekelompok individu yang dijadikan standar baku, standar baku inilah yang dilanjutkan sebagai patokan untuk menetapkan boleh tidaknya sesuatu hal dilakukan oleh individu, inilah yang disebut moral. Sedangkan kenyataannya guru “berperilaku” lain.
Cacing yang sangat lemah saja kalau terinjak akan memberontak, apalagi manusia yang memiliki hati, perasaan dan pikiran. Prinsip biologis peka terhadap rangsangan pasti akan berlaku. Demikian pula untuk berhasil dalam Ujian Nasional pasti akan merekayasa berbagai cara. Kalau dengan mengikuti les dan bimbingan belajar belum mendatangkan kepercayaan diri yang cukup, pasti akan melakukan trik senjata pamungkas berbuat curang. Karena sudah ada contoh penyelewengan oleh petinggi negara. Hal-hal seperti ini sebenarnya sunnatullah. Bukan hal yang aneh. Kecuali sistem pendidikan kita sudah mapan, mandiri dan berkualitas. Didukung oleh mentalitas sumber daya manusia yang handal, kesadaran yang tinggi dari masyarakat. Ceritanya pasti akan lain.
Demi implementasi sederhana Kemanusiaan yang adil dan beradab, sudah saatnya Ujian Akhir jenjang pendidikan dibuat stratifikasi yang manusiawi. Bagi peserta didik yang sudah berkualifikasi nasional dapat mendaftar menjadi peserta Ujian Nasional. Sedangkan peserta didik yang hanya siap diuji dengan kualifikasi tingkat provinsi, kabupaten/kota dan bahkan tingkat lokal, hanya berhak mengikuti Ujian Akhir sesuai kemampuannya.
Tanda lulus yang berupa Ijazah, Sertifikat dan sejenisnya juga beragam sesuai tingkat ujian yang diikutinya. Sehingga diterbitkan Ijazah Tingkat Nasional (SKHU), Provinsi (Ijazah). Prinsip tersebut bagi bangsa yang sedang didera multi krisis, bencana dan musibah seperti Indonesia tidak manusiawi.
Jadi kebijakan menyelenggarkan Ujian Nasional (UN) telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Sebab dalam PP tersebut dinyatakan UN dilaksanakan setelah memenuhi delapan standar, sementara hal yang dimaksud tersebut belum terpenuhi. Pelaksanaan UN hanya menghasilkan tanda lulus bagi peserta didik. Tanda itulah yang kemudian menjadi syarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Misalnya, tanda lulus siswa SMA, nantinya hanya digunakan untuk mendaftar ke perguruan tinggi karena siswa diterima tetap berdasarkan ujian masuk.
Selanjutnya pelaksanaan UN juga dapat mengancam hak anak didik untuk memperoleh wajib belajar sembilan tahun. Karena hak anak diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2002 pasal 48 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini mewajibkan pemerintah menyelenggarkan pendidikan dasar selama sembilan tahun. UN juga berprotensi menghambat pelaksanaan wajib belajar karena memungkinkan adanya siswa yang tidak lulus bahkan banyak yang tidak lulus, kemungkinan itu menjadi kendala tersendiri bagi kelangsungan proses wajib belajar. Sebenarnya tidak boleh ada hambatan apapun untuk seorang anak duduk belajar sembilan tahun. Bukan berarti keluar SD kemudian tidak lulus, jadi tidak boleh melanjutkan sekolah. Ini sangat membahayakan program wajib belajar sembilan tahun. Pemerintah saat ini tampaknya tidak menghawatirkan ancaman terhadap proses wajib belajar. Padahal, peluang ketidaklulusan anak didik terbuka karena tingginya ketakutan mereka untuk menghadapi UN. Alternatif mengulang lewat paket-paket pendidikan, justru akan membuahkan persoalan baru.
Kalau SMA atau SMP mereka masuk paket C atau paket B. Kalau SD masuk paket A, itu sangat tidak manusiawi karena paket A dikhususkan bukan untuk usia mereka. Mereka bergaul, bercampur dengan orang yang tidak sebaya. Hak anak didik untuk berkembang secara optimal baik dari segi fisik, mental, maupun akhlak. Padahal, Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang (UU) 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut tanpa perlakuan diskriminasi. Setiap anak didik memiliki hak asasi untuk tumbuh sesuai bidang tertentu yang menjadi minat dan kemampuan mereka. Namun, sistem dalam UN menutup kesempatan itu. Anak didik tidak diberi hak untuk menetapkan pilihan atas bidang-bidang pelajaran tertentu secara bebas. Sebagian dari mereka ada yang pelajaran olah raganya bagus, tapi itu akhirnya terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar