Selasa, 04 Mei 2010

Pentingnya Pendidikan Moral dalam Pembentukan Moralitas Peserta Didik di Sekolah Inklusi

Abstrak
Pendidikan moral memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan akhlak dan pendidikan budi pekerti. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Pada hakikatnya pendidikan moral dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai dan pendidikan budi pekerti, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda yang berbudi pekerti baik. Tujuan akhirnya adalah membangun dan menjaga moralitas peserta didik agar menjadi pribadi yang baik.
Mengantisipasi fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat, perlu kiranya diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah maupun perguruan tinggi, dan tak kalah pentingnya adalah sekolah Inklusi agar mengoptimalkan sistem pembelajaran yang aktual, tidak hanya terfokus pada substansi materi ajar, tetapi lebih diupayakan lagi menginternalisasikan nilai-nilai materi ajarnya, khususnya pada pelajaran moral dan Aqidah Akhlak. Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu mengomunikasikan materi ajar dengan sebaik mungkin. Interaksi yang dibangun pun harus mengindikasikan pada proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan komunikatif. Sehinnga nilai-nilai yang termaktub di dalamnya mampu tercerap dengan baik oleh peserta didik dan dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sepanjang hayat.
Dalam proses pembelajaran di sekolah Inklusi guru dan anak didik juga merupakan mitra. Di sekolah guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. Dalam interaksinya, kehadiaran guru bersama–sama anak didik di sekolah, dalam jiwanya semestinya sudah tertanam niat untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, memiliki sikap, watak dan kepribadian yang baik, cakap dan terampil, bersusila dan berakhlak mulia. Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak lain adalah menanamkan sejumlah norma ke dalam jiwa anak didik. Oleh karena itu tulisan ini mengemukakan betapa pentingnya pendidikan moral dalam pembentukan moralitas peserta didik di sekolah Inklusi.

Kata kunci: pendidikan moral, moralitas peserta didik, dan sekolah inklusi.

A.Pendahuluan

Kemerosotan moral sudah sangat menghawatirkan akhir-akhir ini. Nilai- nilai keadilan, kejujuran, kebenaran, tolong-menolong, dan kasih sayang seolah sudah menjadi barang mahal. Sebaliknya, yang mucul adalah tindakan penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, saling merugikan, adu domba, fitnah, mengambil hak-hak orang lain, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Fenomena di atas juga mewarnai dunia pendidikan kita. Sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan menunjukkan sikap yang tidak terpuji. Banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat tawuran, tindak kriminal, pencurian, penodongan, penyimpangan seksual, terlibat narkoba, dan tindak kriminal lainnya. Bahkan di kalangan pelajar pun, peristiwa tawuran kerap terjadi. Aksi demonstrasi yang memprotes kebijakan tidak cuma terjadi di kampus-kampus, tetapi juga terjadi di lingkungan pelajar tingkat atas bahkan pelajar tingkat sekolah dasar yang kadangkala diakhiri dengan tindakan kekerasan. Perbuatan tidak terpuji tersebut telah meresahkan masyarakat.
Meskipun tingkah laku tidak terpuji tersebut hanya dilakukan oleh sebagian pelajar dan mahasiswa, tetapi tak pelak hal itu telah mencoreng kredibilitas dunia pendidikan saat ini. Potret buram pendidikan itu akhirnya makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Jika keadaan demikian dibiarkan berlarut-larut tanpa mencari solusinya maka sulit mencari alternatif yang paling efektif untuk membina moralitas masyarakat pada umumnya dan moralitas pelajar pada khususnya.
Demikian juga halnya sekolah Inklusi yang terdiri dari guru-guru, siswa/i, karyawan dan komponen manusia lainnya yang membentuk masyarakat kecil yang juga membutuhkan dan tak terlepas dari yang namanya aturan-aturan yang membentuk masyarakat itu sendiri, sehingga mereka bisa berinteraksi dengan baik, maka disinilah dibutuhkan aturan-aturan berupa norma hukum, adat, dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Bila dilihat ke dalam proses berlansung pendidikan di sekolah Inklusi, pada umumnya siswa siswi yang mendapatkan pendidikan di sekolah ini mempunyai umur yang berkisar antara 6-12 tahun, di mana anak-anak pada usia ini mulai memiliki rasa ingin melakukan sesuatu dengan baik. Mereka berusaha untuk melakukan sesuatu yang terbaik. Pada usia ini anak mulai bisa merasakan keahlian yang terus berkembang, baik secara fisik maupun psikis. Dalam perkembangan anak-anak ini juga membutuhkan rasa kepercayaan diri. Celsius (dalam Noor Syam, 1983:127) menyatakan bahwa “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Hukum ialah norma-norma, atau nilai-nilai untuk mengatur antar hubungan sosial manusia.
Orang-orang yang berada disekililingnya seperti orang tua, teman, guru dan yang lainnya diharapkan mampu memberikan dorongan sehingga ia mampu tumbuh dan berkembang menjadi anak yang percaya diri. Dorongan untuk menjadi anak yang memiliki rasa percaya diri amat dibutuhkan oleh anak yang kurang berhasil pembelajarannya. Anak yang seperti ini butuh dorongan khusus. Dengan memiliki kepercayaan dirinya ia bisa mengeksplorasi hal-hal yang lain yang ada pada dirinya. Misalnya bisa berprestasi di bidang olah raga, walaupun nilainya dalam kelas biasa-biasa saja
Moralitas peserta didik di sekolah Inklusi juga merupakan persoalan yang aktual dan penting untuk dibicarakan, hal itu disebabkan, pertama, adanya kecendrungan menurunnya moralitas peserta didik terutama di kota kota besar, kedua, peserta didik merupakan generasi muda yang akan memegang estafet kepemimpinan bangsa. Ketiga, peserta didik juga merupakan aset utama bagi kemajuan bangsa dan negara.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pengembangan pembelajaran yang tersedia melalui jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003). Sedangkan Prayitno (2009;68) mengemukakan bahwa peserta didik adalah manusia yang sepenuhnya memiliki Harkat dan Martabat Manusia dengan segenap kandungannya. Peserta didik dengan HMM-nya ini berhak hidup sesuai dengan HMM-nya yang perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dengan kata lain, pendidikanlah yang akan mengembangkan HMM peserta didik sehingga peserta didik dapat menjadi apa yang disebut sebagai”manusia seutuhnya”.
Untuk itu dalam proses pengembangan pembelajaran yang dijalani peserta didik diarahkan pada pembentukan manusia dewasa, memiliki tanggung jawab menjalankan kewajiban- kewajibannya. Oleh karena itu, idealnya peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritial keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003).
Dalam tulisan ini akan dideskripsikan bagaimana pentingnya pendidikan nilai itu untuk meningkatkan moralitas peserta didik di sekolah inklusi, dengan menjadikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai operan condition, mereka yang tampak dalam kondisi fisik, gerak fisik maupun memiliki perilaku yang berbeda, sehingga bisa menimbulkan perhatian bagi teman sebayanya.

B. Pentingnya Pendidikan Moral
Pendidikan moral perlu diberikan kepada peserta didik dalam proses pembelajarannya di sekolah, karena anak-anak itu sudah banyak diberikan ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat kognitif seperti halnya pelajaran-pelajaran yang selama ini diajarkan di sekolah sebagian besar cenderung mengembangkan aspek konitif, sementara aspek lainnya (affektif dan psikomotor) kurang mendapatkan perhatian yang proporsional. Menurut Pestalozzi (Noddings, 1998) “objek pelajaran biasanya hal-hal yang tidak menyinggung masalah moral. Pestalozzi perhatiannya lebih banyak pada pendidikan moral dan pendidikan seharusnya juga memberikan pelajaran tentang moral seperti pelajaran yang bersifat kognitif. Di samping itu tidak semua orang tua mengajari anaknya tentang “moral” secara komprehensive sesuai dengan tuntutan moral dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Bagi peserta didik masa sekolah adalah masa untuk belajar menjadi orang dewasa yang bermoral, bukan untuk menjadi remaja yang sukses (Elias, Maurice J.et all, 2003, h.33), berkaitan dengan pendapat tersebut peserta didik yang dalam proses menuju kedewasaannya (pendidikan) disiapkan untuk mampu berperilaku baik, memiliki sopan santun, sehingga memberikan ciri kekhasan sebagai manusia yang bernilai, mampu menunjukkan jati dirinya, bertanggung jawab dengan apa yang menjadi pilihan hatinya. Dengan kata lain, pendidikan tidaklah semata sebagai proses pencerdasan peserta didik, akan tetapi pendidikan juga bertujuan untuk menciptakan peserta didik yang bermoral. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet.Ke III: 2288).
Perilaku baik yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul bersamaan dari peralihan dari kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing (Elizabeth B.Hurlock, 1978: 75).
Bertingkah laku baik, bagi peserta didik, seharusnya terwujud dalam seluruh pola kehidupan yang berimplikasi pada keluarga, guru, dan teman. Ciri tersebut harus merupakan trade mark yang menjadi jati dirinya untuk dijadikan bekal menuju kedewasaan peserta didik.
Secara sosiologis, peserta didik di sekolah Inklusi merupakan bagian dari lingkungan dimana mereka hidup, berbuat dan berkarya dengan apa yang dimilikinya dan apa yang didapatkannya termasuk nilai baik buruk yang didapatkan secara turun-temurun. Kondisi-kondisi yang masih konsisten dan mampu memberikan kekuatan bagi mereka dan merupakan warisan dari nenek moyang yang tidak pernah luntur oleh perkembangan kehidupan bangsa yang menggeser nilai-nilai kehidupan bangsa ini ialah prinsip rukun1 dan prinsip hormat. Warisan tersebut merupakan warisan budaya yang luhur, sebagaimana tertuang dalam peribahasa “Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah”. Yang artinya pertikaian membuat perceraian, rukun membangun kekuatan (Purwadi, Djoko Dwiyanto, 2006: 257).
Sikap saling menghargai, saling menghormati, saling mengasihi, saling berempati, saling tolong menolong dan saling bekerja sama, seharusnya dipertahankan sebagai filosofi bangsa supaya manusia menjadi manusia yang sehat jasmani, sehat rokhani, sehat sosial maupun sehat spiritualnya, sebagaimana kriteria sehat menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ironisnya, fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan, mengisyaratkan bahwa telah terjadi degradasi moral, tayangan Televisi, kupasan media cetak, berita di dalam internet marak dengan berita-berita tentang sikap-sikap negatif, seperti tidak menghargai, dan menghormati kepada para guru-guru, bahkan sampai terjadi perkelahian, tawuran, pelecehan, pemerkosaan dan juga pembunuhan yang dilakukan oleh peserta didik di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) di berbagai kota besar di negara ini. Hal ini merupakan indikasi merosotnya moralitas yang mustinya dijunjung tinggi demi terwujudnya manusia yang bermoral. Sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang non manusiawi, dan inilah mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah (Ary Ginanjar Agustian, 2001: xiii).
Untuk membentuk dan mengarahkan peserta didik pada moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi yang benar-benar berada dalam keadaan selaras, tenang, tentram, tanpa perselisihan, pertentangan, damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Situasi dan kondisi tersebut diatas dianggap sebagai asumsi bahwa jiwa manusia dalam mengambil keputusan sangat dipengaruhi oleh kondisi jiwa dan lingkungan dimana mereka hidup, mereka bersosialisasi, mereka meniru. Menurut Jensen & Kingston (1986), sebagaimana dikutip oleh John W. Santrock, peniruan merupakan suatu bagian yang penting dari proses membujuk peserta didik/anak anak untuk berperilaku dengan baik kepada orang lain (John W. Santrock, 2002: 49)
Ary Ginanjar menyatakan bahwa proses pendidikan moralitas itu harus dilakukan secara kronologis. Ary mengungkapkan bahwa dengan menabur gagasan, akan memetik perbuatan, dengan menabur perbuatan akan memetik kebiasaan, dengan menabur kebiasaan akan memetik karakter, dan dengan menabur karakter, akan memetik nasib (Ary Ginanjar, 2003: viii).
Secara psikologis, pendidikan nilai dan moral sangatlah tepat diberikan pada anak berusia 6 s-d 12 tahun. Menurut Kohlberg, anak pada usia 6 s-d 12 dalam perkembangan moralnya berada pada tingkat tiga, dimana mereka berfokus pada orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik), dan tingkat empat, mereka juga berada pada orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan aturan), (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral).
Pengetahuan yang disampaikan oleh guru-guru dalam proses pembelajaran diharapkan sebagai sesuatu gagasan yang selanjutnya perlu dibarengi dengan perbuatan nyata dengan melihat keberbedaan, memperlakukan sentuhan kasih sayang dan kesabaran, karena tanggung jawab yang dihadapinya untuk segera bertindak begitu saja, sebagaimana Prinsip Pendidikan, Seperti yang dinyatakan oleh Prayitno (2009:194) bahwa “kasih sayang merupakan pancaran cinta pertama yang ditampilkan oleh pendidik kepada peserta didik dengan limpahan kasih saying dalam pengembangan dirinya secara menyeluruh, sebab dengan kasih saying potensi anak berkembang, harapan terbayang dan semangat terpacu untuk berjuang”. Karena itulah pendidikan hendaknya tidak hanya diarahkan pada kecakapan yang bersifat intelektual semata, tetapi harus diarahkan pada penemuan tujuan pendidikan, sebagaimana dirumuskan oleh UNESCO yaitu Learning how to know, Learning how to learn, Learning how to do, Learning how to be,Learning how to live together. Dalam kurikulum yang telah dibakukan disebutkan pentingnya menyeimbangkan tiga ranah yaitu ranah proses berpikir, ranah nilai dan ranah keterampilan.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dirjen Management Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, merekomendasikan ada 9 jenis anak berkebutuhan khusus atau sering disingkat ABK yang perlu ditangani. Pendidikan Inklusif adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan (Denis, Enrica, 2006, hal. 44). Pendidikan inklusif pada umumnya sudah diterapkan di sekolah-sekolah dasar di kota Padang. Anak Berkebutuhan Khusus pada umumnya sudah inheren pada sekolah reguler.

C. Cakupan Moralitas Peserta Didik
1. Moralitas Peserta Didik
Perkembangan Moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (John W.Santrock, 2002: 287), yang diungkapkan dalam bentuk 1) Berpikir, 2) Bertindak dan 3) Perasaan (Ibid). Peneliti Perkembangan Moral, Pieget memicu tentang adanya pemikiran isu-isu moral, dalam observasi dan wawancara yang ekstensip terhadap anak-anak berusia 4–12 tahun. Piaget mengamati anak-anak tersebut bermain kelereng sambil berusaha mempelajari bagaimana anak-anak tersebut menggunakan dan memikirkan aturan-aturan permainan. Piaget juga bertanya kepada anak-anak tentang aturan-aturan etis, seperti mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan (Ibid).
Kesimpulan yang diperoleh Piaget menyebutkan bahwa ada dua cara yang jelas-jelas berbeda dalam berpikir tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, kedua cara tersebut adalah : 1) Heteronomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak berusia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah. 2) Autonomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak yang lebih tua (kira–kira usia 10 dan lebih), pada fase ini anak-anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan di dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Dan anak-anak usia 7-10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap yang menunjukkan beberapa ciri dari keduanya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pemikir heteronomous dalam menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat-akibat dari perilaku itu, bukan maksud-maksud dari pelaku. Sebagaimana dicontohkan bahwa memecahkan dua belas gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan satu gelas secara sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue.
Bagi pemikir otonomous, yang benar adalah sebaliknya, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting. Pemikir heteronomous juga yakin bahwa aturan tidak boleh diubah dan digugurkan oleh smua otoritas yang berkuasa. Mereka menolak ketika diajukan aturan-aturan baru harus diperkenalkan. Mereka bersikeras bahwa aturan-aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah. Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga menjadi lebih canggih, dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerja sama. Pieget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya (Dalam kelompok teman sebaya, dimana semua anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan dikoordinasikan, dan ketidak setujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati) yang saling memberi dan menerima (Ibid.: 288) Sekolah dan relasi dengan para guru merupakan aspek-aspek kehidupan anak yang semakin tersetruktur. Pemahaman diri anak berkembang, dan perubahan-perubahan dalam gender dan perkembangan moral menandai perkembangan selama tahun-tahun sekolah dasar setingkat anak usia 7-12 tahun (John W. Santrock, 2002:342).
Islam mulai menerapkan pemberlakuan syariah bagi anak-anak usia baligh (7-12), pada usia tersebut anak-anak telah diwajiban untuk melakukan syariah seperti shalat, merupakan ibadah pertama yang dimintai pertanggungan jawab di hadapan Tuhannya. Dengan demikian anak pada usia tersebut telah dianggap mampu bertanggung jawab akan kewajibannya. Sebagaimana penelitian akan perkembangan moral yang dilakukan oleh Kohlberg, yang menyatakan bahwa perkembangan moral manusia ada dalam tahapan-tahapan yang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan intelektualnya.
Menurut penulis pada dasarnya manusia termasuk peserta didik telah memiliki potensi moral (baik dan buruk) yang telah tertanam didalam batinnya (diri), baik buruk akan tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi oleh stimulus-stimulus dan tauladan-tauladan yang melingkupinya. Permasalahannya bagaimana mengkondisikan dan mengarahkan peserta didik pada kecenderungan akal aktif (potensi batiniah baik), atau peserta didik dengan moralitas baik.
Memperhatikan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah dasar dan menengah pada umumnya sudah menerapkan pendidikan inklusi sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Piaget tentang perkembangan pemikiran atau penalaran moral pada anak-anak usia 4 s/ 7 tahun, usia 7 s/d 10 dan pada usia diatas 10 tahun, mereka memiliki pemikiran tentang moral dengan ciri-ciri, bagi anak anak berusia 4-10 tahun, selalu mempertimbanggkan akibat-akibat dari perilaku, aturan yang disepakatinya bersifat kaku, tidak boleh diubah, mereka juga menolak aturan-aturan yang baru diperkenalkan, mereka hanya tunduk pada aturan-aturan sosial yang telah dibuat, yakin akan adanya keadilan yang immanen (immanent justice), dan biasanya mereka merasa khawatir setelah melakukan pelanggaran. Aturan atau norma-norma yang diberlakukan di sekolah akan selalu dipatuhi oleh peserta didik tersebut. Bagi peserta didik atau anak- anak yang berusia diatas usia 10 tahun, mereka
mempertimbangkan maksud-maksud dari pelaku, mereka juga menganggap bahwa aturan-aturan bersifat fleksibel, bisa dibuat kesepakatan dan bisa berubah, mereka lebih fleksibel, mau menerima perubahan, tidak bersifat kaku, mereka tunduk pada perubahan aturan dengan kesepakatan, mereka menganggap bahwa hukuman tidak serta merta diberlakukan begitu saja dan hukuman hanya terjadi pada seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa hukuman juga tidak terelakan.

2. Faktor-faktor Pembentuk Moralitas Peserta Didik
Pendidikan formal yang dilaksanakan dalam dunia persekolahan, hampir memakan waktu kurang lebih 16 tahun (sekolah dasar enam tahun, sekolah menengah pertama tiga tahun, sekolah menengah atas tiga tahun dan perguruan tinggi kurang lebih empat tahun) waktu yang cukup untuk membentuk moralitas peserta didik Adat kebiasaan yang terbentuk merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan berulang-ulang, perbuatan tersebut akan menjadi kebiasaan, karena dua faktor, pertama adanya kesukaan hati kepada suatu pekerjaan, dan kedua menerima kesukaan itu dengan melahirkan suatu perbuatan (Ahmad Amin,1975: 21). Dan sifat urat syaraf itu menerima suatu perubahan, jisim atau benda termasuk manusia disebut menerima perubahan, bila dapat dirubah menurut bentuk-bentuk baru, dan bila dapat dirubah, maka akan tetap dalam perubahan itu, kertas yang dilipat terasa pertama kali sedikit menerima penolakan, maka apabila terus diupayakan dan dipaksakan maka lambat laun akan dapat berubah dalam bentukan itu (Ibid: 22).
Dalam bentukan yang dikehendaki sebagaimana peserta didik yang dikehendaki dalam pembentukan moralitas yang dijunjung tinggi maka akan memiliki moralitas yang baik dan kebiasaaan moralitas yang baik yang telah terbentuk akan mepunyai dua sifat, pertama memberikan kemudahan pada perbuatan itu karena telah menjadi kebiasaan dan kedua menghemat waktu dan perhatian, karena manusia itu hampir menjadi segolongan adat kebiasaan yang berjalan di permukaan bumi dan nilainya akan bergantung kepada kebiasaannya (ibid: 32).
Butler mengemukakan bahwa sejumlah peserta didik untuk setiap angkatan termasuk pada usia 6-12 tahun haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi kitab suci. Sedang Dernihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi (Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 109). Dan tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik kearah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru/pendidik adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada peserta didik. (Ibid : 115).
Peserta didik mempunyai bermacam-macam kebutuhan, pemenuhan kebutuhan ini merupakan syarat yang penting bagi perkembangan pribadi yang sehat dan utuh. Kebutuhan tersebut antara lain Kebutuhan rasa kasih sayang, kebutuhan rasa aman, rasa harga diri, kebebasan, sukses dan ingin tahu. (Khoiron Rosyadi, 2004: 195). Kebutuhan dasar peserta didik tersebut merupakan haknya yang musti diberikan oleh keluarga, pendidik pada saat pembelajaran dan pembentukan masa perkembangannya, sehingga masa-masa yang sangat menentukan tersebut benar-benar memperoleh porsi yang akan mengantarkan dan sekaligus sebagai basic landasan dasar pada masa-masa pengisian hidup berikutnya.
Perkembangan anak pada khususnya sangat tergantung pada lingkungan dimana mereka hidup, dan peserta didik yang hidup bersama keluarga, bersama-sama dengan teman sebayanya dan lingkungan sekolah hampir kurang lebih 6 (enam) jam sehari, tentu sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap penanaman moral mereka terutama cara-cara temannya berpikir, temannya bertindak dalam menyikapi atau merespon suatu sikap atau tindakan, temannya berkata, kondisi temannya, cara temannya berpakaian, temannya bersikap, karena pada dasarnya manusia hidup itu banyak meniru (Akhmad Abdullah, 1975). Seorang pendidik atau guru mempunyai peranan yang sangat strategis dan besar dalam memberikan, menkondisikan, membuat situasi pembelajaran menjadi berarti, John Dewey sebagaimana dikutip Wasty Soemanto, ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan :
1.Memberi kesempatan pada murid/peserta didik untuk belajar perorangan
2.Memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman
3.Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok peserta didik
4.Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok peserta didik menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis. Oleh karena itu, murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah dengan kemerdekaan beraktifitas, dengan orientasi kehidupan masa kini (Jalaluddin & Abdullah Idi, 2007: 93)
5.Dan apa yang berguna bagi manusia sebesar-besarnya apabila manusia itu mendapat ahli pendidik yang baik dan bahaya akan menimpanya, apabila manusia mendapat pendidik yang buruk, sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, bahwa manusia lahir dalam keadaan fitrah, keluarga dan lingkunganlah yang akan membentuknya menjadi manusia yang ingkar dan tidak berguna.
Koordinasi antar guru agar semua bekerja sama membina moralitas siswa dalam setiap mata pelajaran masing-masing. Misalnya, guru mata pelajaran sejarah menyisipkan pesan moral dengan memberi tugas, "Carilah apa hikmah yang dapat diambil dalam kehidupan kita sehari-hari tentang peristiwa Sumpah Pemuda 1928". Guru mata pelajaran bahasa Inggris: "Buatlah kata-kata mutiara yang dapat dipraktikkan dan merupakan nasehat kebaikan yang ditulis dalam bentuk bahasa Inggris", dan tentunya semua mata pelajaran, bias diformat dalam bentuk–bentuk petuah dan nasehat akan kebaikan.
Dengan tetap mengutamakan mutu dari disiplin ilmu yang disampaikan, hendaknya pesan-pesan moral diberikan dalam semua mata pelajaran, tidak terlalu sering agar tidak jenuh, dan tidak terlalu jarang agar tidak diabaikan. Maka dalam setiap even pendidikan, lingkungan sekolah khususnya perangkat guru pentingnya membiasakan dengan membentuk kebiasaan yang baik sebagaimana diungkapkan bahwa dengan menabur gagasan, maka akan memetik perbuatan, dengan menabur perbuatan akan memetik kebiasaan, dengan memetik kebiasaan akan terbentuklah karakter atau sifat baik, dan sentralnya adalah nasib (Ary Ginanjar, 2005: xliii) Robert J. Havinghurst mengemukakan, bahwa peserta didik pada masa usia 6-12 tahun harus melaksanakan tugas perkembangan, sebagai berikut:
1.Mempelajari kecakapan-kecakapan jasmaniah yang dibutuhkan untuk permainan sehari-hari;
2.Membentuk sikap yang baik terhadap diri sendiri sebagai suatu makhluk yang tumbuh;
3.Belajar bergaul dengan teman sebaya;
4.Mempelajari peranan sosial laki-laki atau perempuan;
5.Memperkembangkan kecakapan dasar dalam menulis; membaca dan berhitung;
6.Memperkembangkan pengertian yang perlu unuk kehidupan sehari-hari;
7.Memperkembangkan kata hati, kesusilaan dan ukuran-ukuran nilai;
8.Memperkembangkan sikap terhadap lembaga dan kelompok sosial (Khoiron Rosyadi, 2004: 194).
Untuk menguatkan dan meninggikan pendidikan moral, terutama akhlaknya, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1.Meluaskan lingkungan pikiran, artinya terus berusaha untuk belajar dengan semangat;
2.Berkawan dengan orang-orang terpilih, bukan berarti menolak berkawan dengan orang awam namun lebih membekali diri dengan lingkungan yang berpikir baik dan bijak. Karena pada dasarnya manusia hidup suka mencontoh;
3.Membaca dan menyelidiki perjuangan para pahlawan dan yang berpikiran luar biasa; Supaya manusia memaksakan dirinya melakukan perbuatan baik bagi umum, berbuat baik adalah kewajiban manusia, karena kualitas antara lain terletak pada perbuatan baiknya; Apa yang telah disampaikan di dalam kebiasaan tentang menekan jiwa melakukan perbuatan yang tidak ada maksud kecuali menundukkan jiwa. Dan menderma dengan perbuatan perbuatan setiap haridengan maksud membiasakan jiwa agar taat, memelihara kekuatan penolaksehingga diterima ajakan baik dan ditolak ajakan buruk (Ahmad Amin, 1975: 63-66).
Bahwa pendidikan moral peserta didik pentingnya didasari dengan kekuatan nilai yang dimulai dengan ketenangan hati nurani yang suci maka keberhasilan pendidikan moral yang dibiasakan dan dipaksakan pada awalnya akan menampakkan hasilnya. Hasilnya adalah peserta didik yang bermoral yang mampu mengaktualisasikan dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak saja baik namun lehih kepada perbuatan-perbutan mulia, yang dilakukan tidak karena ingin keuntungan, ingin di puji, ingin dihormati namun perbuatan yang dilandasi dengan syariah namun juga seringkali menggunakan akal pikirnya. Akal, syariah dan dorongan hati yang suci akan terbentuk manusia digital, manusia baru yang sesuai dengan tatanan transenden (manusia yang memiliki rukh).
Pendidikan Inklusif sebagai wadah dan model pelayanan yang mampu membentuk serta mengembangkan moral peserta didik, karena peserta didik dilatih sekaligus dihadapkan pada kehidupan yang nyata (Learn to live together), mereka hidup tidak ada batasan antara yang pandai dan yang kurang pandai, yang beruntung secara fisik maupun yang kurang beruntung (anak berkebutuhan khusus), mereka yang berasal dari keturunan kaya atau miskin, rumpun atau etnis, manusia yang termarginalkan, dan lain sebagainya. Pendidikan inklusif adalah pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan masa depan (education for future), dan pendidikan islami (Islamic education).

D. Strategi Pembentukan Moralitas Peserta Didik
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Peranan guru dan perancang pembelajaran dalam mengembangkan strategi pembelajaran moral di sekolah Inklusi mestinya harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil peran moral, baik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakarat yang lebih luas. Kesempatan untuk mengambil peran sosial nampaknya memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan moral. Penelitian Holstein dalam Kohlberg & Turriel, memperlihatkan bahwa anak-anak yang maju dalam perkembangan moral, memiliki orang tua yang juga maju dalam penalaran moral. Orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan yang mendorong terjadinya dialog, mempunyai anak yang secara moral lebih matang.(C.Asri Budiningsih, 2004: 84) Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kolhberg (Cremers, 1995) disamping di dalam keluarga, pengambilan peran dalam kelompok keluarga, pengambilan peran dalam kelompok sebaya, di sekolah dan di masyarakat yang lebih luas, akan meningkatkan perkembangan moralnya (Ibid).
Pada diri peserta didik telah tertanam potensi utama yang terus dilatih dengan stimulus-stimulus yang positif sebagaimana menurut tokoh muslim yang dikenal dengan hujat al-Islam, Al Ghozali menawarkan suatu konsep, yang bukan saja bersifat lahiriah namun lebih bersifat batiniah, yaitu akhlaq sebagaimana Sabda Rasulullah SAW, bahwa Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Yang lemah lembut dan tidak pernah menyakiti orang (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147). Dan karena akhlaklah yang akan membawa dia kepada jalan keselamatan (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 145).
Pembelajaran di sekolah Inklusi dapat meliputi langkah orientasi/informasi, pemberian contoh, latihan/pembiasaan, umpan balik, dan tindak lanjut. Langkah-langkah tersebut tidak selalu harus berurutan, melainkan berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Dengan proses seperti itu, diharapkan apa yang pada awalnya sebagai pengetahuan, kini menjadi sikap, dan kemudian berubah wujud menjelma menjadi perilaku yang dilaksanakan sehari-hari.
Strategi dan metode terbaik untuk mengajarkan nilai-nilai, moral, dan akhlak kepada peserta didik adalah dengan contoh dan keteladanan. Prayitno (2009:281) menyatakan bahwa “kehidupan manusia itu tidak terlepas dari peniruan, selanjutnya dalam proses konformitas melalui pendidikan, peserta didik yang ingin/hendak memasuki ‘kelompok pendidik’ harus banyak meniru dari keteladanan yang diberikan pendidik”. Karena keteladanan yang diberikan guru merupakan guru yang paling baik, sebab sesuatu yang diperbuat melalui keteladanan selalu berdampak lebih luas, lebih jelas, dan lebih berpengaruh daripada yang dikatakan.
Disamping keteladanan sebagai guru yang utama, pembelajaran nilai-nilai, moral, dan akhlak di sekolah perlu juga menggunakan metode pembelajaran yang menyentuh emosi dan keterlibatan peserta didik, seperti metode cerita, permainan, simulasi dan imajinasi. Dengan metode itu peserta didik akan mudah menangkap konsep nilai, moral yang terkandung di dalamnya. Sebagai ilustrasi dapat disimak contoh mengembangkan nilai kejujuran da tenggang rasa berikut ini : 1) Kejujuran, strategi pembelajaran yang dikembangkan dapat melalui permainan sebab akibat, perjanjian untuk berbuat jujur, dan penghargaan atas kejujuran, dan 2) Tenggang Rasa, strategi pembelajaran nyang dikembangkan dapat melalui menghapal pernyataan bermakna, permainan untuk memperhatikan sesuatu (pemandangan), permainan untuk memperhatikan kebutuhan orang lain, dan permainan sahabat rahasia.
Selanjutnya sudahkah kita memberikan pendidikan moral disertai keteladanan kepada anak-anak, peserta didik, dan kepada semua pihak. Untuk itu mari terapkan strategi-strategi baru yang bisa meningkatkan moralitas siswa, meskipun itu di sekolah Inklusi, karena tugas kita sebagai manusia adalah melatih, terutama para pendidik dan orang tua, dengan demikian, peserta didik yang mendapat pengajaran dan pembelajaran di sekolah, pentingnya tugas guru untuk melatih dan memberikan bantuan pada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada peserta didik.
E. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis tentang pentingnya pendidikan moral di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral merupakan sesuatu yang harus diberikan kepada peserta didik di sekolah Inklusi, karena pendidikan moral dapat membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik dan hidup setara dengan anak-anak normal lainnya..
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Peranan guru dan perancang pembelajaran dalam mengembangkan strategi pembelajaran moral di sekolah Inklusi mestinya harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil peran moral, baik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakarat yang lebih luas dengan memberikan keteladanan melalui proses peniruan, dimana semuanya harus dimulai dari pendidik itu sendiri.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ginanjar, Ary, A. (2001), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ – Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5Rukun Islam, Penerbit Arga.
Atkitson, R.L., dkk. 1983. Introduction to Psychology. New York: Harcourt Brace Javanovich, Ich.
Departemen Pendidikan Nasional; Direktorat Jenderal Peninkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2006. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini.
Noddings, Nel. 1998. Philosophy of Education. Colorado: Westview Press, A. Member of Perscus Books, L.L.C.

Hurlock, Elizabeth,B. 1978. Perkembangan Anak. Ed.6. Jakarta. Erlangga
John W. Santrock. 2008. Psikologi Pendidikan. Kencana: Jakarta
Mohammad Noor Syam. 1983. Fase-Fase Perkembangan Anak. Grasindo: Jakarta
Nurul Zuhrah. 2008. Pendidikan moral & budi pekerti dalam perspektif perubahan: menggagas platform pendidikan budi pekerti secara kontekstual dan futuristik. Jakarta: Bumiaksara.
Prayitno. 2009. Pendidikan; Dasar Teori dan Praksis. jilid I. UNP Press: Padang
Santoso, Muhammad Abdul Fattah. 2005. Jurnal Studi Islam.
Steven Carr Reuben. 1997. Children of Character, a parent guide, Santa Monica: Canter and Associates, Inc.
Theo Riyanto FIC. dkk. 2004. Pendidikan Pada Usia Dini., Grasindo: Jakarta.
UUSPN (SISDIKNAS). 2003. Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Zaim Elmubarok. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai: Alfbeta: Bandung
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet.Ke III
Internet: (http.www //google. Moral), (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral), dan (http.www.google.ciri-ciri authis).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar